Teknologi

CBP One App: Apa Fungsinya dan Mengapa Kontroversial?

Membahas CBP One, aplikasi yang dihadirkan oleh U.S. Customs and Border Protection, tidak bisa dilepaskan dari konteks isu imigrasi yang menjadi perdebatan hangat di kalangan para calon presiden AS. Aplikasi ini diperuntukkan bagi warga asing yang ingin mendapatkan izin masuk secara sah, termasuk pengajuan suaka atau izin kerja sementara. Dalam pengoperasiannya, CBP One berfungsi sebagai portal tunggal yang memudahkan akses ke berbagai layanan CBP. Namun, di balik manfaatnya, aplikasi ini juga menyimpan banyak kontroversi.

Salah satu kritik utama mengenai CBP One adalah efektivitasnya dalam menangani masalah imigrasi ilegal. Meski aplikasi ini dirancang untuk memperlancar proses bagi mereka yang mencari perlindungan atau pekerjaan, banyak pihak meragukan apakah aplikasi ini benar-benar mampu mengurangi angka imigrasi ilegal ke AS. Kehadiran CBP One justru dianggap oleh beberapa legislator, seperti Matt Gaetz, sebagai alat yang semakin membuka pintu bagi imigran, bukan membatasi jumlah mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan seputar seberapa besar pengaruh aplikasi ini terhadap kebijakan imigrasi yang ada.

Dalam praktiknya, CBP One harus digunakan oleh para pencari suaka untuk mengajukan janji temu sebelum memasuki perbatasan. Meskipun menurut data pemerintah aplikasi ini telah membantu mengatur lebih dari 765.000 janji temu antara Januari 2023 hingga Juli 2024, terdapat sejumlah masalah teknis yang dihadapi. Kemacetan dalam pengaturan janji membuat banyak pencari suaka terpaksa menunggu berbulan-bulan. Hal ini berisiko membuat mereka terjebak di perbatasan, di mana mereka rentan terhadap eksploitasi oleh kelompok penjahat.

Human Rights Watch melaporkan bahwa sistem yang ada saat ini menyediakan jauh lebih sedikit janji temu harian dibandingkan dengan jumlah aplikasi yang masuk. Akibatnya, banyak pencari suaka yang mendapati diri mereka terjebak dalam kondisi beresiko, berhadapan dengan para penjahat yang memanfaatkan kelemahan mereka. Selain itu, lembaga ini juga menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi oleh para migran, termasuk hambatan bahasa, masalah kesehatan, dan kurangnya fasilitas dasar di tempat penampungan.

Aplikasi CBP One juga menghadapi kritik keras terkait fungsi dan desainnya. Beberapa organisasi, termasuk Amnesty International, menganggap penggunaan aplikasi ini sebagai pelanggaran terhadap hukum hak asasi internasional. Mereka menunjukkan bahwa persyaratan untuk menggunakan fitur pengenalan wajah dan pelacakan GPS menciptakan risiko bagi privasi pengguna dan potensi penyalahgunaan data. Hal ini semakin memperburuk hubungan antara pencari suaka dan pemerintah, yang seharusnya melindungi mereka.

Di samping semua kritik tersebut, pemerintah Biden menjelaskan bahwa aplikasi ini adalah upaya untuk menyediakan jalur yang "sah dan manusiawi" bagi para migran. Mereka berpendapat bahwa CBP One bertujuan untuk menggantikan metode lama yang berpotensi berbahaya serta untuk menjauhkan orang-orang dari praktik penyelundupan. Namun, ironi muncul ketika kekurangan dalam sistem ini menguntungkan para penyelundup, yang terus beroperasi sementara pencari suaka berkutat dengan masalah pengaturan janji temu.

Bersamaan dengan keluhan dari organisasi hak asasi manusia, beberapa anggota DPR juga menyuarakan perlunya perbaikan dalam aplikasi ini. Mereka menyoroti kesulitan yang dialami oleh banyak orang yang bergantung pada aplikasi tersebut. Dari masalah hardware yang tidak memadai hingga kesulitan akses bagi mereka yang kurang terampil dalam teknologi, tantangan ini membuat perjalanan mereka untuk mendapatkan perlindungan semakin rumit.

Kontroversi seputar aplikasi CBP One tidak hanya berdampak pada para pencari suaka, tetapi juga mencerminkan konflik yang lebih besar dalam kebijakan imigrasi AS. Di tengah ketegangan politik yang berkembang dalam isu ini, tampaknya CBP One berada di persimpangan antara upaya untuk mengelola arus imigrasi dan tantangan praktis serta etis dalam pelaksanaannya. Mengingat situasi yang semakin kompleks ini, akan menarik untuk melihat bagaimana pemerintah AS dan CBP merespons kritik yang ada dan apakah akan ada reformasi yang signifikan dalam penggunaan aplikasi ini di masa depan.

Dari gambaran ini, jelas bahwa meskipun CBP One bertujuan untuk memberikan solusi, tantangan yang ada menunjukkan bahwa penyempurnaan dan pengawasan lebih lanjut sangat diperlukan. Setiap langkah yang diambil untuk memperbaiki keluhan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana imigrasi dikelola di AS. Apakah CBP One akan berperan sebagai alat yang efisien atau justru menjadi sumber masalah besar dalam skenario imigrasi yang lebih kompleks? Waktu akan menjawab pertanyaan ini.

Redaksi Ponta

PONTA adalah salah satu situs yang memiliki dedikasi tinggi dalam menyajikan berita dan informasi terbaru seputar teknologi di Indonesia. Dengan pengalamannya yang panjang dalam dunia blogging, PONTA memiliki kemampuan untuk memahami dan menyampaikan informasi teknologi dengan cara yang menarik dan mudah dimengerti oleh pembaca.

Artikel Terkait

Back to top button